Masa Gereja Misi
Gereja misi berlangsung sampai dengan tahun 1975/ 1976 yang ditandai dengan keputusan Musyawarah Pastoral di Jayapura dan kemudian ditindaklanjuti di Waghete. Selama masa Gereja Misi, Paroki Waghete telah mengembangkan dirinya dengan pembukaan stasi-stasi dan sekolah-sekolah. Pengembangan itu antara lain ditandai dengan dibukanya stasi dan SD di Edarotali, Damabagata, Egepakigida, Yaba, Meyepa (kelimanya bekas gedung sampai sekarang masih baik), dan Kigou. Akan tetapi semua SD itu masih merupakan filial dari SD Waghete, jadi di stasi-stasi itu sekolah berlangsung hanya sampai kelas III. Keadaan ini masih berlangsung sampai dengan tahun 1980-an. Pada masa itu juga perayaan Natal dan pecan suci berpusat di Waghete.
Pada masa Gereja Misi, keadaan Gereja adalah pastor-sentris. Masa ini juga ditandai dengan usaha pengumpulan umat sebanyak mungkin dengan dukungan dana yang besar, antara lain tampak dalam pendirian gedung-gedung Gereja, sekolah, rumah katekis. Saat itu para katekis juga mendapatkan honir dari Pastor (Misionaris). Hal ini berlangsung sampai awal 1980-an.
Pada tahun 1976-1977 dibangun gereja stasi St. Veronika di Damabagata. Hal ini untuk menjawab tantangan wilayah yang luas dan sulit. Dengan dibangun gereja ini maka setiap hari raya diadakan dua kali misa, untuk bagian timur berpusat di Damabagata sedangkan yang lain di Wagehete. Gereje di Damabagata diberkati oleh Mgr. H. F.M. Muninghoof, OFM pada tahun 1977.
Pada masa itu setiap hari minggu diadakan misa dua kali, yaitu jam 7.00 dengan Bahasa Indonesia dan jam 9.00 dengan bahasa Mee. Akan tetapi pada tahun 1980-an, setelah P.M. Ruigrok, OFM pulang ke Belanda dan digantikan oleh para Imam Fransiskan Indonesia yang kesulitan berbahasa Mee, maka misa dalam bahasa Mee ditiadakan.
Alasan lain peniadaan misa dalam bahasa Mee adalah telah tersedianya Pelayan Umat (PU) yang mempermudah pelayanan di stasi, yang bertugas sebagai penerjemah atau juga pelayan sabda. Dengan kemudahan itu maka pelayanan sakramen juga diadakan di stasi meskipun gereja stasi kurang terjaga kesakralannya. Keadaan itu juga semakin dikuatkan setelah dikumandangkannya semagnat “Gereja Mandiri”.
Sebenarnya masa Gereja Misi telah berakhir pada pertengahan tahun 1970-an, seperti yang dinyatakan oleh Keuskupan. Namun semangat Gereja Misi masih melekat dalam diri umat hingga saat ini. “Gereja adalah saya”. Gereja semakin berkembang ke arah kemandirian. Selama perkembangan itu juga berkembang karya-karya pelayanan antara lain: kesehatan, pelatihan untuk ketrampilan ibu-ibu dan “Karya Mulya” (lembaga untuk menangani pembangunan).
A. Pendidikan
Pendidikan di Papua dimulai dengan dibangunnya YPPK (Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik) yang berpusat di Jayapura. Kemudian yayasan inilah yang mengelola pendirian dan keberlangsungan pendidikan di daerah-daerah.
a. SD YPPK Waghete
Pendidikan menampakkan masa kejayaannya sampai dengan pertengahan tahun 1980-an karena semangat pelayanan para guru TRIKORA yang berasal dari Jawa dan Toraja. Pada awalnya semua guru berasal dari Jawa dan Toraja dan YPPK berfungsi dengan baik.
b. SMP YPPK Waghete
SMP ini dibuka sebagai kelas filial dari Epouto. Namun dalam perkembangannya SMP YPPK Waghete dapat menjadi SMP Mandiri. Kejayaan SMP ini nampak pada tahun 1970-an, 1980-an, dan 1990-an. Kejayaan SMP juga berkat penanganan asrama yang jelas dan baik. Sekarang asrama telah dibubarkan.
B. Pelatihan Ibu-Ibu
Pelatihan demi peningkatan ketrampilan ibu-ibu ini dilaksanakan di komplek susteran. Pelatihan ini dilaksanakan di Waghete untuk menampung para ibu yang tak tertampung di SKB Enarotali dan PBW Epouto. Pelatihan-pelatihan itu diantaranya adalah pelatihan mengolah bahan makanan local, menjahit, menyulam, merawat bayi, mengurus keluarga, pertolongan bersalin, dan sebagainya.
Pelatihan ini berlangsung efektif selama dua suster Belanda, yaitu Sr. Carla Holla dan Sr. Frits, masih ada di Waghete. Mereka pergi dari Waghete pada pertengahan 1980an untuk pulang ke negeri asalnya. Setelah ditinggalkan oleh para suster itu, kegiatan pelatihan dilanjutkan oleh ibu-ibu sosial yang merupakan lulusan SKB Enarotali dan PBW Epouto, namun kegiatan itu tak seefektif semasa para suster masih menanganinya.
C. “Karya Mulia”
Karya Mulia ini adalah karya yang menangani masalah bangunan gereja, rumah guru, gedung sekolah, rumah pewarta, perabot sekolah, dsb. Namun pada akhir 1990an karya ini sudah tidak terdengar lagi.
Gereja Mandiri
Tahun 1997 adalah suatu babak baru dalam perkembangan Gereja di Papua. Penyerahan keuskupan dari Mgr. H.F.M. Munghooff, OFM kepada Mgr. Leo Baba, OFM menjadi tanda dimulainya kemandirian Gereja dengan dikumandangkannya “Gereja Mandiri” pada tahun itu.
Kemandirian Gereja yang dikumandangkan oleh Keuskupan itu ditempuh dengan jalan antara lain:
1. Membangun persekutuan/ komunitas
2. Membangun semua aspek kehidupan
3. Mengembangkan sikap terarah kepada yang lain
4. Memberi corak khas Irian/Papua pada persekutuan
5. Mengadakan pelayanan-pelayanan Gereja
6. Menyelenggarakan keuangan secara tepat
Pemahaman yang kurang memadai menimbulkan sikap yang keliru bagi umat stasi. Mereka malah menangkap kemandirian itu sebagai sikap untuk tidak memiliki paroki, yaitu suatu sikap tidak mau tergantung yang berarti berdiri sendiri. Dan kemandirian mereka maknai dengan memperluas gedung Gereja stasi.
Dampak Perkembangan Gereja di Waghete
A. Dampak positif Gereja Misi dan Gereja Mandiri
- Iman tertanam di hati
- Mampu membangun Gereja secara mandiri (tanpa terlalu mengharapkan bantuan Pastor atau Uskup)
- Memiliki pelayan sabda walaupun ada yang hanya lulus SD
- Pengelolaan keuangan yang bertanggungjawab (tak diselewengkan) walaupun tidak terbukukan dengan jelas
. B. Dampak negatif Gereja Misi dan Gereja Mandiri
- Pengharapan honor dan rumah oleh para pewarta/gembala
- Semangat bahwa segala sesuatu berpusat pada Pastor (Pastor-sentris) masih kuat ada dalam diri umat, walaupun di Paroki Waghete telah dikembangkan “Paroki kolegial-partisipatif”
C. Dampak bagi Pendidikan
YPPK telah mengembangkan beberapa pola pengembangan seperti SD Percontohan, SD Inti, SD Prioritas untuk membuat suatu fokus penanganan sehingga mutu terjamin. Akan tetapi program ini kurang berhasil. Setiap stasi masih ingin mempertahankan kemapanannya sendiri dengan berusaha membuka kelas sampai kelas VI. Setiap sekolah ingin mandiri sehingga tidak ada fokus penanganan. Masa kejayaan yang pernah dialamai oleh sekolah YPPPk sampai pada tahun 1970an sampai 1980an kini tinggal kenangan. Kini yang tersisa hanya harapan untuk kembali mencapai kejayaan masa lampau.
D. Pendidikan Postulan OFM
Pada tahun 1980an di Waghete dibangun Postulan untuk pada Fransiskan. Namun kini tinggal sisa-sisa bangunan saja yang sudah beralih fungsi.
. E. Perkembangan Keuskupan
Kini dekanat Timika, yang dahulu merupakan bagian dari Keuskupan Jayapura, kini telah menjadi satu keuskupan dengan ditahbiskannya seorang uskup pertama John Philip Saklik, Pr untuk keuskupan TImika. Tanggal 18 April 2004 adalah hari pertama Keuskupan TImika secara resmi menjadi keuskupan sendiri.
Dengan demikian kini Waghete adalah sebuah paroki yang berada dalam Dekenat Paniai, Keuskupan Timika. Hal ini juga merupakan salah satu tanda perkembangan kehidupan umat Katolik di Papua yang di dalamnya juga umat Proki St. Yohanes Pembaptis Waghete..... Oleh *( Hubertus Takimai.
0 Komentar